Ada sedikit cerita kecil dari kami dibeberapa minggu
yang lalu ketika kami berlibur ke sebuah kota pegunungan di Jawa Tengah,
tepatnya kota Wonosobo. Kota yang menjadi gerbang utama menuju objek wisata
pegunungan Dieng. Awal cerita liburan kami ini sungguh tidak ada rencana dan
terkesan spontan sekali, karena berawal dari oboral dijejaring Sosial Facebook ketika
saling berbalas post comment. Dan dari
obrolan itulah, mulai meluas ke tahap share
info ke teman-teman yang lain. Karena pada prinsipnya: “Kebahagian itu
harus dibagikan, dan tidak untuk disimpan sendiri”. (penulis)
#HARI PERTAMA (27 Oktober 2012)
Rumah Singgah |
Kami yang terbagi menjadi 3 keloter dan bertolak menuju kota pegunungan di Jawa Tengah yaitu Wonosobo. Dimulai oleh Tim
Alfa (Keloter I) yang terdiri dari Rully, Budi dan saya sendiri. Kami bertolak
menuju Wonosobo tepat pukul 13.22 WIB via jalur pegunungan Bruno – Kepil dengan
mengendarai sepeda motor. Meskipun perjalanan kami sempat terhambat karena ban
bocor di sekitar wilayah Kepil, namun akhirnya kami pun tiba di Rumah Singgah kawan kami Freddy di
Wonosobo sekitar pukul 16.00 WIB. Disusul kemudian oleh Tim Bravo (keloter II)
yang terdiri dari Tomy dan Indra'Jayeng. Jalur yang mereka tempuh menggunakan mobil
cukup jauh, karena harus menjemput peserta tim yang lain, yaitu Firli dan
Destira. Adapun jalur Tim Bravo adalah Kutoarjo – Wates – Jogja – Salaman, Magelang –
Wonosobo. Sekitar pukul 20.35 WIB Tim Bravo tiba di Rumah Singgah Wonosobo, itupun sesudah Tim
Charlie (keloter III) yang terdiri dari Rocky dan Hendra yang tiba lebih dahulu di
Wonosobo pada pukul 20.00 WIB dengan rute yang hampir sama dengan Tim Bravo (Jogja - Salaman, Magelang - Wonosobo).
Bercengkrama hingga larut |
Akhirnya seluruh peserta sudah berkumpul di Rumah Singgah,
kecuali Rully dan Budi yang tidak dapat bergabung malam itu karena sudah ada
janji bermalam dirumah teman mereka yang lain. Hari pun mulai berlanjut larut,
segala keperluan akomodasi sudah disiapkan oleh keluarga dari kawan kami
Freddy. Namun tidak semua dari peserta yang ada “mau” langsung beristirahat.
Dan benar saja, kami yang malam itu terdiri dari Rocky, Freddy, Bowo, Firly,
Jayeng, Hendra dan saya sendiri memutuskan untuk “nglitéh” (dalam bahasa Indonesia
berarti pergi keluar rumah mencari angin, jalan-jalan atau mencari sesuatu). Sepulang dari “nglitéh”
pun, kami lanjutkan dengan aktivitas SNI ala anak cowok ketika berkumpul
yaitu main kartu. Karena saya tidak cukup pandai dalam bermain kartu, maka saya
putuskan untuk menyaksikan serunya permainan kartu malam itu. Penuh canda tawa
dan obrolan seru sepanjang malam dan tanpa terasa jarum jam pun sudah menunjukan
pukul 1.00 WIB dini hari. Maka beranjaklah kami untuk benar-benar istirahat merebahkan
badan setelah sepanjang siang hingga petang kami melakukan perjalanan.
#HARI KEDUA (28 Oktober 2012)
Minggu Pagi di Alun-alun Wonosobo |
Sinar mentari mulai membelah sejuknya udara pagi di
kota Wonosobo. Teh hangat dan kudapan pun sudah tersaji di meja taman pagi itu,
tanpa berpikir lama kami pun langsung menghampiri. Sempat berbicang sesaat pagi
itu, dan munculah rencana untuk “Sunmor” ke
alun-alun Wonosobo yang kebetulan tidak jauh dari Rumah kawan kami itu. Tidak
berlama-lama, kami pun beranjak cuci muka dan langsung berjalan kaki menuju
alun-alun Wonosobo.
Setiba disana, mata kami pun terperangah menyaksikan
situasi alun-alun pagi itu yang ramai dengan berbagai kegiatan warga masyarakat
setempat, mulai dari aktivitas olah-raga, lapak-lapak yang digelar, dan
aktivitas dari berbagai komunitas disana. Tidak berselang lama, kamipun
berpencar. Ada dari kami yang gabung dengan pemuda setempat bermain bola basket, ada juga yang mengadakan reuni diklat kecil-kecilan, dan saya sendiri bersama Indra'Jayeng dan Firli berkeliling sambil cuci mata. Sampai pada akhirnya kawan kami Indra'Jayeng jatuh hati pada seorang gadis berjilbab disana. Namun diluar rasa takjub kami akan hidupnya suasana alun-alun kota Wonosobo pagi itu, ada yang lebih
membuat kami terheran-heran pagi itu. Ketika kami berkeliling disekitaran
alun-alun kota, kami melewati sebuah gedung serba guna di kota itu. Kebetulan
di Gedung tersebut tengah diadakan semacam Gigs Metal oleh scene underground
setempat. Bukan gigs’nya yang membuat kami heran, namun seperti mimpi saja ketika
melihat ada gigs terpagi yang pernah kami temui (sekitar jam 8.00 pagi).
Sepertinya kali ini kami harus katakan “WOW dan sambil koprol pula”. Waktu terus berjalan, siang pun mulai menjelang. Kami pun harus kembali ke Rumah Singgah untuk melanjutkan agenda kami yang sesungguhnya #RAFTING_SERAYU28102012 (silahkan klik untuk melihat album foto kami).
Overload |
Ada hal yang membuat kami memacu adrenaline dipagi itu, yaitu disaat kami akan
kembali ke Rumah Singgah kami menggunakan jasa angkutan tradisional tempo dulu
(Dokar). Letak keanehannya bukan pada Dokar yang kami tumpangi, tapi adalah
pada kami sendiri. Dimana kami terlalu memaksakan muatan terhadap alat transportasi
tradisional tersebut. Hal yang lebih membuat kami miris adalah laju si kuda
yang menarik kami sempat zig-zag. (dibaca: keberatan karena overload)
"Mejeng" at the Resto |
Tepat sekitar pukul 10.00 siang kami pun berangkat
menuju ke lokasi rafting di wilayah Banjarnegara. Perjalanan dari rumah teman
kami menuju lokasi sekitar 30-40 menit, ini merupakan jarak yang tidak teramat
jauh. Beberapa dari kami mengendarai mobil dan sisanya menempuh rute tersebut
dengan sepeda motor. Sesampai disana, kami sempatkan berfoto-foto dan mulai
mencairkan suasana dengan canda dan tawa. Kebetulan ada peserta yang menyusul bernama Wulan (sahabat dari Destira) dan asli dari Banjarnegara pula. Dengan logat
“ngapak” yang khas ternyata Wulan juga pandai mencairkan suasana siang itu yang
kebetulan cukup terik dan “kurang air minum” (dibaca: bekal minum saya diramas
para begundal). Matahari kian meninggi, sekitar pukul 11.45 tibalah giliran
kami untuk terjun ke sungai. Pengarahan demi pengarahan pun disampaikan oleh
instruktur yang akan memandu jalannya rafting siang itu sembari kami mengenakan
perlengkap rafting yang telah disediakan oleh pengelola setempat.
“…Byarr byurr byarr byurr byarr…”
Pengarahan |
Yak!! Sekitar pukul 12.00 kami mulai turun ke sungai
dan mengarungi aliran sungai Serayu itu. Menit-menit pertama masih terasa biasa
saja. Namun lepas sepuluh menit berlalu, jeram demi jeram pun mulai menggoyang
perahu karet kami. Bentuk dan tingkat kecuraman jeram yang dilalui pun
bervariasi, dan terus diiringi teriak histeris dan degub jantung kami. Sesekali
kami memang menemui bagian yang landai dan tenang, namun Sungai Serayu tidak
ijinkan kami berlama-lama menghela nafas, dan kami pun mulai dikoyak kembali oleh jajaran
jeram yang menggelombang.
Arungi Jeram |
Sisipan cerita ditengah perjalanan |
Tepat ketika ditengah perjalanan siang itu tibalah
kami di rest area, sajian kepala muda pun sudah siap menanti kami disana. Lumayan
cukup memberi energi tambahan buat kami disiang itu yang dihajar jeram Sungai
Serayu tiada hentinya. Namun ada sekelumit cerita pedih dibalik keceriaan
saat itu. Tepat sesaat sebelum sampai di Rest Area, pemandu diperahu kami (penulis) bercerita tentang keprihatinan yang dia rasakan terhadap Sungai Serayu itu.
“Dari sekian pajang rute Sungai Serayu ini, hanya ada satu titik yang terburuk
yaitu disini mas” kata pemandu kami, dan kami pun balik bertanya “emangnya
kenapa, mas?”. Sambil menunjukan jarinya kearah sebuah bangunan pabrik, pemandu
kami menjawab “Itu penyebab mengapa mulai dari titik ini, Sungai Serayu menjadi
kotor dan terpolusi karena keberadaan industri olahan kayu yang serta merta
limbah hasil produksinya tidak terkelola dengan baik. Akibatnya mencemari
sungai dan mengganggu ekosistem sungai. Kami dan penduduk sekitar yang disertai
oleh LSM pernah mengadukan hal tersebut ke pihak pemerintah, namun laporan
hanya sekedar laporan. Tidak pernah ada tindak lanjut yang nyata dari
pihak berwenang atas laporan kami”. Mendengar cerita tersebut, kami pun sedikit
perihatin akan kemalangan yang menimpa Sungai Serayu selama ini. Dan sangat berharap
besar, pemerintah benar-benar mampu “bicara dan bertindak tegas”. Karena ini
juga menyangkut wajah dan citra pariwisata dari kota Banjarnegara sendiri,
jangan sampai ada pembiaran dan aksi tutup mata sehingga berlarut-larut terjadi
menimpa keasrian Sungai Serayu yang menjadi salah satu icon pariwisata.
Rest Area |
Rest area pun kami tinggalkan, pengarungan sungai pun
harus kami selesaikan. Masih tersisa beberapa jeram menghadang didepan sana. Dan
teriakan demi teriakan diselingi tertawa gelipun mulai terdengar warnai
kilometer terakhir. Tanpa terasa akhirnya pun kami tiba di pemberhentian
terakhir kami siang itu. Mobil angkutan lokal yang disewa untuk membawa kami
pulang ke titik awalpun sudah siap menanti kami didekat jembatan goyang.
Sekitar pukul 14.35 sampailah kami di titik awal
(restoran). Dari kejauhan tercium aroma paduan kecap dan bumbu yang terlumat
bara api panggangan, seolah menuntun tiap langkah kami mencari asal bau harum itu. Dan benar saja, dimeja bambu itu sudah siap tersaji hidangan
yang menggoda selera. Ada sayur dan ikan bakar, lengkap dengan sambal dan
lalapannya. Sungguh kian membuat kami hanyut, dalam rasa lapar yang mendera
kami sepanjang siang itu. Wajar saja kami “lapar dan lelah maksikmal”, karena
kebetulan debit air Sungai Serayu saat itu memang tidak seperti biasanya. Hal ini
dikarena musim penghujan yang tak rutin kunjung datang menghampiri. Sehingga memaksa kami
mendayung dan lebih bekerja keras melaju perahu karet kami.
“…kembali ke
rumah singgah…”
Rombongan kami pun beranjak kembali ke Rumah Singgah
di kota Wonosobo. Hujan pun turun dengan cukup deras, seolah menyambut
kepulangan kami ke kota Wonosobo. Tidak berselang lama kami tiba di Rumah Singgah, ibunda kawan
kami pun sudah menyiapkan mie rebus dan minuman hangat. Sungguh makin kami
dimanjakan selama kami berlibur disana. Sembari istirahat kami pun mulai mengemas
barang bawaan kami, karena kami harus kembali ke rumah kami masing-masing. Sekitar
pukul 17.30, Tim Alfa yang terdiri dari Rully, Budi dan saya sendiri berpamitan
untuk pulang terlebih dahulu. Hal ini mengingat cuaca dan rute yang akan kami
hadapi (Wonosobo – Kutoarjo, via Kepil – Bruno), maka kami harus bergegas
pulang. Sekitar pukul 19.00 WIB pun sampai di kota awal kami berangkat, yaitu Kutoarjo.
Mohon maaf yang sebesar-besarnya, bila penulis tidak
dapat menceritakan detail kepulangan dan perjalanan dari Tim Bravo dan Tim Charlie, hal ini dikarenakan
kurang adanya komunikasi yang intensif. Penulis yang berada di Tim Alfa (pulang
lebih dahulu) kurang mengetahui perkembangan berita maupun kejadian dan
peristiwa setelah kepulangan kami, selain sajian penuntup “Mie Ongklok” yang disajikan oleh Ibunda kawan kami Freddy sebagai hidangan penutup. Dan terima kasih banyak untuk Ibunda dari Freddy yang sudah menjamu kami dengan sangat istimewa, serta buat Dewa yang sudah membantu mendokumentasikan #RAFTING_SERAYU28102012.
Sekian sedikit cerita dari kami, selama kami berlibur
di kota Wonosobo. Semoga akan terulang kembali dan bermanfaat ketika kami saling
berbagi informasi. Sekian dari kami “The Macak Turis”, sampai jumpa pada liburan
yang akan datang.
Mari bertualang ceria bersama kami |
“Wonosobo neng
ngisore gunung, pingen seger mangano carica.
Ayo konco ojo ming nglundang-glundung, lueh
penak ayo podo wisata”
Sekilas info :
Biaya regular IDR 185K/orang (per Oktober 2012), minimal 5 orang peserta dalam sekali pemberangkatan. Adapun fasilitas yang didapat:
- Transportasi dari finish kembali ke start,
- Asuransi,
- Tim Rescue,
- Makan dan Minum 1x (Ikan bakar, sayur dan teh hangat), dan
- Rest area: Kelapa muda dan makanan ringan (jajan pasar)
Contact person: 085743616888 (Mas Asep)