Selasa, 13 November 2012

Berakhir Pekan di Kota Wonosobo

Mungkin ini terasa begitu terlambat bagi kami untuk membagikan cerita ini kepada teman-teman “turisers” semua. Namun bagi kami itu tak jadi soal, karena melihat padatnya jadwal kami masing-masing yang teramat sibuk dan sarat akan aktifitas yang berjejal disetiap harinya (dibaca: “sok sibuk”). Baiklah, ini sekelumit cerita dari kami yang akan kami bagikan untuk teman-teman semua.

Ada sedikit cerita kecil dari kami dibeberapa minggu yang lalu ketika kami berlibur ke sebuah kota pegunungan di Jawa Tengah, tepatnya kota Wonosobo. Kota yang menjadi gerbang utama menuju objek wisata pegunungan Dieng. Awal cerita liburan kami ini sungguh tidak ada rencana dan terkesan spontan sekali, karena berawal dari oboral dijejaring Sosial Facebook ketika saling berbalas post comment. Dan dari obrolan itulah, mulai meluas ke tahap share info ke teman-teman yang lain. Karena pada prinsipnya: “Kebahagian itu harus dibagikan, dan tidak untuk disimpan sendiri”. (penulis)

#HARI PERTAMA (27 Oktober 2012)
Rumah Singgah
Kami yang terbagi menjadi 3 keloter dan bertolak menuju kota pegunungan di Jawa Tengah yaitu Wonosobo. Dimulai oleh Tim Alfa (Keloter I) yang terdiri dari Rully, Budi dan saya sendiri. Kami bertolak menuju Wonosobo tepat pukul 13.22 WIB via jalur pegunungan Bruno – Kepil dengan mengendarai sepeda motor. Meskipun perjalanan kami sempat terhambat karena ban bocor di sekitar wilayah Kepil, namun akhirnya kami pun tiba di Rumah Singgah kawan kami Freddy di Wonosobo sekitar pukul 16.00 WIB. Disusul kemudian oleh Tim Bravo (keloter II) yang terdiri dari Tomy dan Indra'Jayeng. Jalur yang mereka tempuh menggunakan mobil cukup jauh, karena harus menjemput peserta tim yang lain, yaitu Firli dan Destira. Adapun jalur Tim Bravo adalah Kutoarjo – Wates – Jogja – Salaman, Magelang – Wonosobo. Sekitar pukul 20.35 WIB Tim Bravo tiba di Rumah Singgah Wonosobo, itupun sesudah Tim Charlie (keloter III) yang terdiri dari Rocky dan Hendra yang tiba lebih dahulu di Wonosobo pada pukul 20.00 WIB dengan rute yang hampir sama dengan Tim Bravo (Jogja - Salaman, Magelang - Wonosobo).
Bercengkrama hingga larut
Akhirnya seluruh peserta sudah berkumpul di Rumah Singgah, kecuali Rully dan Budi yang tidak dapat bergabung malam itu karena sudah ada janji bermalam dirumah teman mereka yang lain. Hari pun mulai berlanjut larut, segala keperluan akomodasi sudah disiapkan oleh keluarga dari kawan kami Freddy. Namun tidak semua dari peserta yang ada “mau” langsung beristirahat. Dan benar saja, kami yang malam itu terdiri dari Rocky, Freddy, Bowo, Firly, Jayeng, Hendra dan saya sendiri memutuskan untuk “nglitéh” (dalam bahasa Indonesia berarti pergi keluar rumah mencari angin, jalan-jalan atau mencari sesuatu). Sepulang dari “nglitéh” pun, kami lanjutkan dengan aktivitas SNI ala anak cowok ketika berkumpul yaitu main kartu. Karena saya tidak cukup pandai dalam bermain kartu, maka saya putuskan untuk menyaksikan serunya permainan kartu malam itu. Penuh canda tawa dan obrolan seru sepanjang malam dan tanpa terasa jarum jam pun sudah menunjukan pukul 1.00 WIB dini hari. Maka beranjaklah kami untuk benar-benar istirahat merebahkan badan setelah sepanjang siang hingga petang kami melakukan perjalanan.

#HARI KEDUA (28 Oktober 2012)
Minggu Pagi di Alun-alun Wonosobo
Sinar mentari mulai membelah sejuknya udara pagi di kota Wonosobo. Teh hangat dan kudapan pun sudah tersaji di meja taman pagi itu, tanpa berpikir lama kami pun langsung menghampiri. Sempat berbicang sesaat pagi itu, dan munculah rencana untuk “Sunmor” ke alun-alun Wonosobo yang kebetulan tidak jauh dari Rumah kawan kami itu. Tidak berlama-lama, kami pun beranjak cuci muka dan langsung berjalan kaki menuju alun-alun Wonosobo.
Setiba disana, mata kami pun terperangah menyaksikan situasi alun-alun pagi itu yang ramai dengan berbagai kegiatan warga masyarakat setempat, mulai dari aktivitas olah-raga, lapak-lapak yang digelar, dan aktivitas dari berbagai komunitas disana. Tidak berselang lama, kamipun berpencar. Ada dari kami yang gabung dengan pemuda setempat bermain bola basket, ada juga yang mengadakan reuni diklat kecil-kecilan, dan saya sendiri bersama Indra'Jayeng dan Firli berkeliling sambil cuci mata. Sampai pada akhirnya kawan kami Indra'Jayeng jatuh hati pada seorang gadis berjilbab disana. Namun diluar rasa takjub kami akan hidupnya suasana alun-alun kota Wonosobo pagi itu, ada yang lebih membuat kami terheran-heran pagi itu. Ketika kami berkeliling disekitaran alun-alun kota, kami melewati sebuah gedung serba guna di kota itu. Kebetulan di Gedung tersebut tengah diadakan semacam Gigs Metal oleh scene underground setempat. Bukan gigs’nya yang membuat kami heran, namun seperti mimpi saja ketika melihat ada gigs terpagi yang pernah kami temui (sekitar jam 8.00 pagi). Sepertinya kali ini kami harus katakan “WOW dan sambil koprol pula”. Waktu terus berjalan, siang pun mulai menjelang. Kami pun harus kembali ke Rumah Singgah untuk melanjutkan agenda kami yang sesungguhnya #RAFTING_SERAYU28102012 (silahkan klik untuk melihat album foto kami).
Overload
Ada hal yang membuat kami memacu adrenaline dipagi itu, yaitu disaat kami akan kembali ke Rumah Singgah kami menggunakan jasa angkutan tradisional tempo dulu (Dokar). Letak keanehannya bukan pada Dokar yang kami tumpangi, tapi adalah pada kami sendiri. Dimana kami terlalu memaksakan muatan terhadap alat transportasi tradisional tersebut. Hal yang lebih membuat kami miris adalah laju si kuda yang menarik kami sempat zig-zag. (dibaca: keberatan karena overload)
"Mejeng" at the Resto


Tepat sekitar pukul 10.00 siang kami pun berangkat menuju ke lokasi rafting di wilayah Banjarnegara. Perjalanan dari rumah teman kami menuju lokasi sekitar 30-40 menit, ini merupakan jarak yang tidak teramat jauh. Beberapa dari kami mengendarai mobil dan sisanya menempuh rute tersebut dengan sepeda motor. Sesampai disana, kami sempatkan berfoto-foto dan mulai mencairkan suasana dengan canda dan tawa. Kebetulan ada peserta yang menyusul bernama Wulan (sahabat dari Destira) dan asli dari Banjarnegara pula. Dengan logat ngapakyang khas ternyata Wulan juga pandai mencairkan suasana siang itu yang kebetulan cukup terik dan “kurang air minum” (dibaca: bekal minum saya diramas para begundal). Matahari kian meninggi, sekitar pukul 11.45 tibalah giliran kami untuk terjun ke sungai. Pengarahan demi pengarahan pun disampaikan oleh instruktur yang akan memandu jalannya rafting siang itu sembari kami mengenakan perlengkap rafting yang telah disediakan oleh pengelola setempat.

“…Byarr byurr byarr byurr byarr…”

Pengarahan
Yak!! Sekitar pukul 12.00 kami mulai turun ke sungai dan mengarungi aliran sungai Serayu itu. Menit-menit pertama masih terasa biasa saja. Namun lepas sepuluh menit berlalu, jeram demi jeram pun mulai menggoyang perahu karet kami. Bentuk dan tingkat kecuraman jeram yang dilalui pun bervariasi, dan terus diiringi teriak histeris dan degub jantung kami. Sesekali kami memang menemui bagian yang landai dan tenang, namun Sungai Serayu tidak ijinkan kami berlama-lama menghela nafas, dan kami pun mulai dikoyak kembali oleh jajaran jeram yang menggelombang.
Arungi Jeram
Sisipan cerita ditengah perjalanan
Tepat ketika ditengah perjalanan siang itu tibalah kami di rest area, sajian kepala muda pun sudah siap menanti kami disana. Lumayan cukup memberi energi tambahan buat kami disiang itu yang dihajar jeram Sungai Serayu tiada hentinya. Namun ada sekelumit cerita pedih dibalik keceriaan saat itu. Tepat sesaat sebelum sampai di Rest Area, pemandu diperahu kami (penulis) bercerita tentang keprihatinan yang dia rasakan terhadap Sungai Serayu itu. “Dari sekian pajang rute Sungai Serayu ini, hanya ada satu titik yang terburuk yaitu disini mas” kata pemandu kami, dan kami pun balik bertanya “emangnya kenapa, mas?”. Sambil menunjukan jarinya kearah sebuah bangunan pabrik, pemandu kami menjawab “Itu penyebab mengapa mulai dari titik ini, Sungai Serayu menjadi kotor dan terpolusi karena keberadaan industri olahan kayu yang serta merta limbah hasil produksinya tidak terkelola dengan baik. Akibatnya mencemari sungai dan mengganggu ekosistem sungai. Kami dan penduduk sekitar yang disertai oleh LSM pernah mengadukan hal tersebut ke pihak pemerintah, namun laporan hanya sekedar laporan. Tidak pernah ada tindak lanjut yang nyata dari pihak berwenang atas laporan kami”. Mendengar cerita tersebut, kami pun sedikit perihatin akan kemalangan yang menimpa Sungai Serayu selama ini. Dan sangat berharap besar, pemerintah benar-benar mampu “bicara dan bertindak tegas”. Karena ini juga menyangkut wajah dan citra pariwisata dari kota Banjarnegara sendiri, jangan sampai ada pembiaran dan aksi tutup mata sehingga berlarut-larut terjadi menimpa keasrian Sungai Serayu yang menjadi salah satu icon pariwisata.
Rest Area
Rest area pun kami tinggalkan, pengarungan sungai pun harus kami selesaikan. Masih tersisa beberapa jeram menghadang didepan sana. Dan teriakan demi teriakan diselingi tertawa gelipun mulai terdengar warnai kilometer terakhir. Tanpa terasa akhirnya pun kami tiba di pemberhentian terakhir kami siang itu. Mobil angkutan lokal yang disewa untuk membawa kami pulang ke titik awalpun sudah siap menanti kami didekat jembatan goyang.
Sekitar pukul 14.35 sampailah kami di titik awal (restoran). Dari kejauhan tercium aroma paduan kecap dan bumbu yang terlumat bara api panggangan, seolah menuntun tiap langkah kami mencari asal bau harum itu. Dan benar saja, dimeja bambu itu sudah siap tersaji hidangan yang menggoda selera. Ada sayur dan ikan bakar, lengkap dengan sambal dan lalapannya. Sungguh kian membuat kami hanyut, dalam rasa lapar yang mendera kami sepanjang siang itu. Wajar saja kami “lapar dan lelah maksikmal”, karena kebetulan debit air Sungai Serayu saat itu memang tidak seperti biasanya. Hal ini dikarena musim penghujan yang tak rutin kunjung datang menghampiri. Sehingga memaksa kami mendayung dan lebih bekerja keras melaju perahu karet kami.

“…kembali ke rumah singgah…”

Rombongan kami pun beranjak kembali ke Rumah Singgah di kota Wonosobo. Hujan pun turun dengan cukup deras, seolah menyambut kepulangan kami ke kota Wonosobo. Tidak berselang lama kami tiba di Rumah Singgah, ibunda kawan kami pun sudah menyiapkan mie rebus dan minuman hangat. Sungguh makin kami dimanjakan selama kami berlibur disana. Sembari istirahat kami pun mulai mengemas barang bawaan kami, karena kami harus kembali ke rumah kami masing-masing. Sekitar pukul 17.30, Tim Alfa yang terdiri dari Rully, Budi dan saya sendiri berpamitan untuk pulang terlebih dahulu. Hal ini mengingat cuaca dan rute yang akan kami hadapi (Wonosobo – Kutoarjo, via Kepil – Bruno), maka kami harus bergegas pulang. Sekitar pukul 19.00 WIB pun sampai di kota awal kami berangkat, yaitu Kutoarjo.
Mohon maaf yang sebesar-besarnya, bila penulis tidak dapat menceritakan detail kepulangan dan perjalanan dari Tim Bravo dan Tim Charlie, hal ini dikarenakan kurang adanya komunikasi yang intensif. Penulis yang berada di Tim Alfa (pulang lebih dahulu) kurang mengetahui perkembangan berita maupun kejadian dan peristiwa setelah kepulangan kami, selain sajian penuntup “Mie Ongklok” yang disajikan oleh Ibunda kawan kami Freddy sebagai hidangan penutup. Dan terima kasih banyak untuk Ibunda dari Freddy yang sudah menjamu kami dengan sangat istimewa, serta buat Dewa yang sudah membantu mendokumentasikan #RAFTING_SERAYU28102012.
Sekian sedikit cerita dari kami, selama kami berlibur di kota Wonosobo. Semoga akan terulang kembali dan bermanfaat ketika kami saling berbagi informasi. Sekian dari kami “The Macak Turis”, sampai jumpa pada liburan yang akan datang.
Mari bertualang ceria bersama kami
“Wonosobo neng ngisore gunung, pingen seger mangano carica.
Ayo konco ojo ming nglundang-glundung, lueh penak ayo podo wisata”




Sekilas info :
Biaya regular IDR 185K/orang (per Oktober 2012), minimal 5 orang peserta dalam sekali pemberangkatan.   Adapun fasilitas yang didapat:
   - Transportasi dari finish kembali ke start,
   - Asuransi,
   - Tim Rescue,
   - Makan dan Minum 1x (Ikan bakar, sayur dan teh hangat), dan
   - Rest area: Kelapa muda dan makanan ringan (jajan pasar)
Contact person: 085743616888 (Mas Asep)